Ada kalimat tentang kehidupan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Benarkah? Makhluk yang notabene membutuhkan makhluk hidup lainnya. Contohnya adalah lingkungan keluarga. Keluarga mungkin akan menjadi orang yang pertama tahu ketika aku sedang merasa sedih ataupun senang. Itu mungkin dulu ketika aku masih belum cukup dewasa dan masih belum bisa menanggung masalahku. Namun sekarang? Aku telah dewasa, oke, aku perbaiki aku telah cukup dewasa. Ada beberapa hal yang memang semestinya keluargaku tidak perlu mengetahui apa yang menjadi keluhanku karena hal itu tidak akan mengajarkanku untuk bisa bersikap menuju kedewasaan. Aku cukup mengetahui bahwa keluargaku selalu ada buatku dan mendukung aku. Aku juga cukup mengetahui apa yang mereka butuhkan saat ini dan aku harus segera memenuhinya. Aku.. dengan semua keluhanku.
Contoh lain, aku punya teman, bahkan sahabat. Tidak sedikit tetapi banyak. Mereka rata-rata sebaya denganku. Kalaupun beberapa dari temanku ada yang tidak seumuran toh itu hanya terpaut dua atau tiga tahun. Mungkin jawaban kemana aku harus mengeluh adalah kepada teman atau sahabatku. Tetapi jawaban itu tidak aku temui, karena pada prakteknya aku memang membutuhkan mereka tapi tidak benar-benar membutuhkan dan sebaliknya. Ketahudirian di sini lebih diutamakan. Mengapa? Banyak kejadian yang menjadikan pembatas untuk diriku menelan semuanya sendiri. Niatku yang awalnya ingin bercerita banyak harus ku urungkan. Mereka ternyata lebih banyak membutuhkan aku sebagai pendengar yang baik meskipun aku tak punya solusi untuk mereka. Atau ada beberapa dari mereka yang sudah mempunyai pasangan, aku tetap tidak bisa semena-mena datang dan meminta mereka untuk mendengarkan aku, karena pada kenyataannya mereka yang berpasangan juga memiliki permasalahan yang lebih kompleks ketimbang teman atau sahabatku yang masih sendiri. Aku.. dengan semua keluhanku.
Contoh yang tak kalah menarik adalah status 'aku-sudah-punya-pasangan'. Contoh ini hanyalah angan-angan saja. Mati rasa? Bukan. Tapi saat ini memang belum ada yang tepat. Terlalu banyak kriteris? Iya. Pernah trauma? Mungkin. Tidak banyak berubah. Anggaplah aku punya pasangan saat ini. Pasti dia akan selalu menjadi orang yang pertama yang tahu semuanya tentang aku. Semuanya tentang apa, siapa, dimana, kenapa, dan bagaimana aku. Dia akan menjadi seseorang yang ku ajak duduk berdampingan denganku tanpa perlu harus merasa malu berekspresi di depannya, serta tanpa ragu meluapkan apa yang sedang ku rasakan saat itu; sedih, senang, kaget, murung, sayang, benci, kesal, dll. Dulu memang ada, tapi sekarang aku tidak bisa lagi meminta hal yang dulu. Sekarang saatnya kembali ke dunia dimana aku berada. Aku.. dengan semua keluhanku.
Selanjutnya adalah contoh yang memang seharusnya tidak aku lupakan. Ini yang terakhir. Ini adalah contoh setia. Tidak pernah mengeluh tapi selalu menjadi pendengar yang baik bagiku. Tidak pernah marah tapi selalu memaafkanku karena ketidaktahudirianku yang selalu lupa dan hanya datang ketika aku sedih. Tidak pernah mempunyai nilai negatif terhadap aku, karena Dia selalu menuntun hamba-hambanya dan yakin bahwa hamba-hambanya pasti bisa melewati rintangan di dunia ini. Hanya saja, jujur, sebenarnya aku malu atas keadaan dimana aku tidak menjadikan-Nya prioritas ketika aku mengeluh padahal Dia banyak tahu dan membantuku selama ini, terutama ketika aku bergembira. Aku merasa kata 'maaf' dariku untuk-Nya saja tidak cukup. Aku malu. Inilah hubungan aku dengan Tuhanku. Aku.. dengan semua keluhanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar